Desa Sambeng berada di rangkaian Bukit Menoreh dengan Sungai Katul yang membelah wilayah Desa Sambeng menjadi dua bagian yang bermuara di Sungai Progo. Sedangkan Sungai Progo terbentang dari utara ke selatan membentuk kelokan-kelokan sungai yang indah bagaikan keindahan keris jawa. Perbukitan menoreh yang menjulang tinggi seakan menjadi panggung pertunjukan keindahan alam Kabupaten Magelang. Semburat sunset/ sunrise di Sungai Progo dan juga udara yang masih segar menjadi potensi wisata yang menarik untuk dikembangkan.
Desa Sambeng mempunyai kultur atau budaya yang unik dan khas berbeda dengan daerah lainnya. Falsafah Desa Sambeng yang merujuk pada asas gotong royong yaitu Sambang Sambung, Sumbang, Sambeng adalah merupakan doa dan harapan dari masyarakat desa Sambeng yang mengambarkan cita cita dan budi luhur masyarakat desa Sambeng untuk saling menyambangi, saling mengenali, saling berbagi dan saling berkontribusi untuk kemajuan Desa Sambeng.
Secara Administrasi Desa Sambeng termasuk wilayah Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Dari Ibukota Kecamatan Borobudur Desa Sambeng berjarak 6 KM ke arah tenggara. Desa Sambeng, terdiri dari 6 Dusun yaitu : Dusun Gleyoran, Dusun Sambeng I, Dusun Sambeng II, Dusun Kedungan I, Dusun Kedungan II, dan Dusun Kedungan III Sedang luas permukiman/pedukuhan ( 15 Ha ), dan ladang/ tegalan ( 117,9 Ha ) serta pemanfaatan lahan lainnya yang dipergunakan untuk peternakan. karakteristik lahan yang sebagian besar berupa tegalan/ladang yang berada di perbukitan menoreh dengan ketinggian 248 diatas permukaan laut yang biasa ditanami palawija, tanaman buah dan tanaman tahunan yang mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar, terutama yang menjadi unggulan adalah Buah Durian hingga hari ini menjadi ikon Desa Sambeng itu sendiri.
Bertani dan berkebun di daerah lereng perbukitan masih menjadi mata pencaharian utama di desa Sambeng karena kondisi alamnya maka desa Sambeng tidak memiliki lahan pertanian padi. Perdagangan hasil pertanian juga menjadi mata pencaharian terbesar kedua setelah pertanian sebagai mata rantai produksi ataupun dari manfaat penjualan hasil pertanian. Adapun kita juga masih menemukan nelayan tanpa perahu yang juga menjadi mata pencaharian sebagian penduduk desa Sambeng yang tinggal di bantaran sungai progo.
Sejarah Desa Sambeng diawali dari periode kepemimpinan Kromo Wijoyo sekitar tahun 1800 an hingga tahun 1855. Selanjutnya sekitar pada tahun 1855 sampai dengan 1902 kedudukan Kepala Desa di Sambeng digantikan oleh Mangoen Wijoyo, kemudian pada tahun 1902 sampai 1927 dipimpin oleh Monadi, dari tahun 1927 sampai dengan tahun 1942 dipimpin oleh Djojo Dimedjo dan tahun 1942 sampai dengan 1962 dipimpin oleh Soehardi. Pada periode ini belum banyak hal yang dapat diungkap, kepemimpinan di era ini masih berbau pemerintah feodal. Selanjutnya tahun 1962 hingga 1987 dipimpin oleh Wiryo Utomo, tahun 1988 – 1998 dan 2007 – 2010 dipimpin oleh Sunardi, tahun 1999- 2007 dipimpin oleh Fatlatur Rofiah, 2010 – 2017 dipimpin oleh Giyarto dan 2018 hingga sekarang ini dipimpin oleh Bapak Rowiyanto.
Secara singkat kata “Sambeng” berasal dari kata “Sambi-Samben-Sambeng” yang berarti disambi. Dalam Bahasa Belanda arti kata “Sambeng” sendiri memiliki makna bersebelahan, hal tersebut di kuatkan dengan bukti bahwa Mbah Kromo Wijoyo yang menjadi kepala desa di Curah selain menjadi kepala desa di Sambeng kala itu. Letak Curah dengan Sambeng sendiri bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Progo. Kala itu mbah kromo wijoyo setelah menjadi kepala desa di Sambeng beliau akhirnya menetap dan berfokus di Sambeng hingga akhir masa hidupnya, kemudian kepemimpinannya diturunkan kepada anak kandungnya yang bernama Mangoen Wijaya. Sejarah tersebut diperkuat dengan data Pemerintah Desa Sokorini yang kami wawancarai lewat Kepala Desa Sokorini bapak Muhammad Aziz Efendi (Raden Lura Yudasiswaharyana), Silsilah Mbah Mangon Wijaya merupakan darah dari keturunan keraton Mataram. Dari silsilah tersebut membuat karakter sosial kemasyarakatan Desa Sambeng sangat giat dan solid dalam nguri-uri kebudayaan Jawa mengingat cikal bakal desa merupakan keturunan keraton.
Perjalanan Pemerintahan dimulai dari penataan wilayah dan perangkat desa, pembangunan infrastruktur jalan-jalan antar dusun sehingga semua dusun bisa dilalui kendaraan roda empat. Pekerjaan ini banyak melibatkan warga secara gotong royong masyarakat yang saat itu dikenal dengan istilah tarub.
Dilanjutkan dengan pembangunan infrastruktur pendidikan baik gedung maupun prasarana pendukungnya. Pembangunan Balai dan Kantor Desa sebagai pusat pelayanan masyarakat, pembangunan sarana ibadah berupa Masjid dan Mushola disetiap dusun untuk meningkatkan kesadaran beragama serta tempat bersama peribadatan warga.
Ragam kekayaan seni-budaya dan ritual keagamaan kesenian di Desa Sambeng terus dilestarikan oleh masyarakat lokal, tercatat mulai tahun 2019 Desa Sambeng memunculkan kembali beberapa kesenian yang sempat mati suri seperti pitutur macapatan, jathilan, setrek, dan ketoprak. Secara keseluruhan Desa sambeng memiliki kesenian karawitan, shalawatan jawa, setrek, ketoprak, macapatan dan jathilan. Sedangkan untuk ritual keagamaan masyarakat sambeng masih memegang erat warisan leluhur seperti sesaji, jenang abang putih, tukon pasar, tumpengan, ngirim, jamasan, saparan, ngirim, kenduren dan ritual daur hidup seperti mitoni, brokohan, selapanan, tedak sinten, khitanan, mantenan, nyatus, nyewu dll.
Menariknya lagi, selain memiliki potensi kesenian dan ritual keagamaan, desa sambeng juga memiliki dolanan kerakyatan yang terus di lestarikan dan dikembangkan. Seperti dolanan lengen, sontokan air, koko-koko, gobak sodor, tembang dolanan, budur-buduran, susun batu, jaranan, ongko wolu, egrang, teklek dan lain sebagainya masih dimainkan oleh anak-anak di sekitar dusun dusun dengan memanfaatkan tanah lapang yang tersedia.
Kerajian anyaman besek sudah menjadi tradisi yang turun temurun di dusun kedungan 1 Desa Sambeng, sedangkan kerajinan anyaman pandan menjadi ciri kahs kerajinan di dusun kedungan III. Pembuatan telik, kepis dan juga jala ikan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan nelayan tanpa prahu di Dusun Sambeng 1 dan Dusun Gleyoran. Kemudian kerajinan dari pohon kelapa seperti janur maupun batok kelapa menjadi sebuah pekerjaan sampingan masyarakat lewat pembuatan alat minum dan pembungkus sebuah makanan. Sedangankan anyaman bambu menjadi pekerjaan sehari hari sebagian penduduk desa Sambeng yang bernilai seni tinggi untuk barang pakai maupun dekorasi rumah.
Desa Sambeng juga mempunyai industri rumahan yang mengolah keripik dari berbagai macam umbi-umbian. Diantaranya adalah slondok, keripik gadung, keripik kimpul, keripik singkong, emping ketela dan legendar menjadi makanan khas desa Sambeng yang diperjualbelikan di pasar tradisional Jagalan dan di daerah sekitarnya. Selain itu iwak kali progo menjadi salah satu olahan pangan khas Desa Sambeng yang bercita rasa gurih, sehingga membuat ketagihan siapapun yang mencicipinya.